Jumat, 04 November 2011

RINTIK HUJAN ITU PUN MAMPU MEMBASAHI BUMI



Saya yakin kisah dan renungan ini agak langka terjadi di dunia nyata. Saya juga berharap itu jauh dari pengalaman hidupmu, sejarah keluargamu dan terutama pengalaman cintamu. Namun bukan berarti hal itu tidak pernah terjadi. Dulu menikah tanpa cinta adalah kenyataan yang kadang terjadi. Wanita dan pria menikah karena unsur keterpaksaan; karena paksaan keluarga, tuntutan adat dan keadaan ekonomi. Maka kita mengenal kisah Siti Nurbaya, bahkan barangkali ada beberapa di antara kita yang sudah pernah menonton filemnya.

Kisah keluarga ini agak mirip dengan kisah Sitinurbaya tetapi banyak makna yang bisa kita petik dan belajar darinya. Brandon dan Joylin terdaftar sebagai suami isteri, menikah di Gereja. Namun sayang, tidak ada “cinta” sebagai dasar paling utama. Tidak ada “sayang” sebagai lem perekat janji itu. Joylin terpaksa menikah dengan Brandon karena tuntutan adat dan bahkan ketika mereka masih kecil keluarga sudah mempertunangkan mereka berdua. Bagi keluarga mereka berdua, adat harus dilaksanakan kalau tidak, mereka tidak akan selamat.

Brandon, sebagai pria cepat memang beradaptasi dengan kenyataan yang ia harus “terima” menjadi suami bagi Joylin. Tetapi bukan sebaliknya, Joylin. Brandon sudah mulai mampu menampilkan dirinya sebagai suami, namun berbeda dengan Joylin. Kita tidak bisa mempersalahkan Joylin karena memang cinta dan sayang itu tidak ada. Cintalah yang mendorong manusia untuk saling mempersatukan. Brandon memang benar telah mencintai isterinya, tetapi Joylin malah sebaliknya membenci Brandon. Maka jadilah keluarga ini bersandiwara terutama di hadapan umum. Terutama lagi bagi keluarganya.

Brandon berusaha mengambil hati isterinya. Ia melakukan segala pekerjaan demi sebuah hati dan impian” cinta dan sayang dari Joylin. Bahkan Brandon lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Ia tidak mau melanggar janji nikahnya, walau ia benar merasa cinta itu seperti bertepuk sebelah tangan. Sehabis dari kerja, ia cepat pulang, namun sambutan isterinya dingin, sedingin es di benua kutub. Ritme hidupnya ialah kerja, di rumah dan ke Gereja.

Saat kelahiran anak pertama keadaan belum berubah. Joylin tetap setia dengan kekerasan hati dan kebekuan jiwanya. Ia merasa melahirkan anak bukan dari buah cinta dan sayang. Karena itu ia pun tidak peduli dengan anaknya itu. Brandonlah satu-satunya yang bertanggung jawab segalaya. Ia seperti seorang duda, padahal nyata masih mempunyai isteri. Di samping sebagai ayah ia juga bertugas sebagai ibu padahal ibu kandung dari anaknya itu masih hidup.

Brandon merasa gagal mendapatkan cinta dari Joylin. Kadang ia berpikir berpisah saja dengan isterinya. Ia berprinsip kalau memang tidak ada cinta, keluarga ini mustahil berjalan. Kalau sayang belum nyata, keluarga mereka juga akan gagal. Pikirannya berkecamuk antara bertahan atau berakhir, tetap bersatu atau berpisah. Pada suatu malam, ia berdoa, “Allah tunjukkanlah kehendakMu atas keluarga saya. Sampai kapan aku harus bertahan. Rasanya aku tidak mampu lagi berjalan sendirian.

Dari rasa kebimbangannya Brandon tetap setiap melaksanakan tugasnya walau ia “berjalan” sendirian. Mengurus permandian anaknya juga harus ditanganinya seorang diri. Ia tidak malu walau teman-temannya sering bertanya dan bahkan mengejeknya.Kadang Brandon menangis dalam kesendirian mengingat keapatisan isterinya. Pengorbanan dirinya dan tanggungjawab, serta semua usahnyanya belum mampu membuka tabir hati isterinya untuk mengatakan, “Brandon saya mencintaimu.” Kelahirnan puteri yang mungil nan cantik itupun belum mampu meluluhkan perasaannya. Peristiwa permandian yang baru saja berlalu juga tidak kuasa memberinya kebahagiaan. Semuanya bagai cinta berbalut sandiwara dan sayang berselimutkan angan.

Beberapa bulan kemudian, Darlene, nama permandian puteri mereka tiba-tiba mengalami demam tinggi. Brandon panik tetapi naluri kebapaan mendorongnya membawanya ke rumah sakit sendirian. Berhari Brandon setia menemani puteri kesayangannya di rumah sakit. Ia tidak mau kehilangannya. Apa yang terjadi dengan Darelene? Rupanya tinggal sendirian di rumah memberinya rasa kesunyian dan kebosanan. Segala pengorbanan Brandon, perjuangannya dan terakhir kecekatannya membawa puterinya ke rumah sakit terngiang di benaknya. Ia pun berpikir, “Apa yang aku cari di dunia ini? Rasanya Brandon telah melakukannya semua untuk aku dan keluargaku. Singkat cerita, Ia memutusakan ke rumah sakit. Sesampai di sana, ia menumpahkan segalanya dalam tangisan. Ia memeluk Brandon dan ia mengatakan, “Brandon saya mencintaimu. Inilah pertama kali Joylin mengatakannya. Akhirnya penantian Brandon sekian tahun ungkapan saya mencintamu, kenyataan. His dream comes true. Mereka berpelukan. Rintik hujan itu pun membasahi bumi. Perjuangan dan kestiaan Brandon juga mampu menyejukkan hati sang isteri.

Pesan;
Untuk mendapatkan cinta memang butuh perjuangan dan bahkan memerlukan waktu yang lama. Untuk melangkah ke jenjang pernikahan juga butuh proses dan langkah-langkah. Karena itu berilah hak kepada anak-anakmu untuk menentukan pilihan hidupnya. Sebagai orang tua kamu berhak memberi mereka pandangan, pendidikan, nasehat dan kontrol, tetapi berilah kebebasan karena cinta bukanlah untuk dipaksanakan dan jangan paksakan kehendakmu dengan alasan ekonomi, alasan keluarga atau adat.

Nyata terjadi bahwa keluarga anda juga kadang terjadi krisis cinta dan pudarnya sayang, serta keraguan akan komitmen. Maka kembalilah ke tanggungjawabmu sebagai suami dan isteri. Ingatlah Brandon akhirnya berhasil mendapatkan cinta dari isterinya lewat perjuangan yang melelahkan dan waktu yang tidak singkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar