Senin, 24 Oktober 2011

KETIKA KEINGINAN ISENG KU MENJADI KEGEMBIRAAN BAGI ORANG LAIN.

Yosafat Ivo Ofm Cap


Entah kenapa asal turun hujan di Guam selalu ada kerinduan tersendiri untuk mengendarai sepeda motor dan berteman derasnya hujan. Pengalaman “indah” di terpa hujan lebat saat pulang dari stasi balik ke paroki, waktu masih di Indonesia adalah sesuatu yang berkesan. Entah kenapa sulit dilukiskan dengan kata-kata. Namun keinginan untuk mengulangi hal itu sangat sulit karena di Guam jarang orang naik sepeda motor, hanya kadang hari Sabtu dan Minggu. Di paroki sendiri pun tidak ada sepeda motor.

Tetapi moment kerinduan itu, datang juga. Allah memang mengerti dan memahami keinginan umat. Allah selalu menjawab kehausan umatNya. Tadi siangi, saat balik dari kampus, tiba-tiba hujan lebat dan angin berhembus kencang. Saat melewati pos perhentian mobil di tepi jalan saya melihat satu keluarga, suami, isteri dan anak berumur sekitar 2 tahun berteduh. Pucuk di cinta ulam pun tiba, entah berjodoh dengan situasi, saya berhenti. Apa yang terjadi, saya sungguh mengenal keluarga ini. Mereka adalah umat di paroki yang saya layani.

Saya melihat anak mereka yang berumur 2 tahun itu sangat mengigil kedingian. Saya katakan, “Kita gantian saja, bapak dan keluarga, pakai mobil ini dan saya kendarai sepeda motor. Bapak itu dengan halus menolak, “Tidak pastor, biar kami menunggu hujan reda. Nanti pastor sakit, apalagi ada misa nanti sore dan besok lagi ada tiga misa.” Saya balas, “Saya orang Indonesia, saya tidak takut hujan, hujan yang takut dengan saya. Bapak itu tertawa lebar tetapi tetap enggan gantian. Karena terus ia menolak, sambil senyum saya bilang, “Demi ketaatan kepada pastor paroki, kita gantian, bapak bawa mobil ini dan aku bawa sepeda motor bapak. Saya melanjutkan ini bukan mobilku, tetapi mobil paroki atau tegasnya mobil KITA, jadi saat ini bapak bersama keluarga dan anak ini yang lebih berhak memakainya. Akhirnya ia pun bersedia.

Saat mengendarai sepeda motor itu, saya memang bergembira dan bersuka cita karena kerinduan mengulangi pengalaman berteman hujan saat di Indonesia terkabul. Pikiran lain yang terngiang di benakku ialah, kalau mereka kena hujan dan sakit, besok hari Minggu dan tidak datang ke Gereja, berkurang dong kolekte, he he he he, ada-ada saja. Saat tiba di paroki saya memang menggigil kedinginan, tetapi mereka hangat. Saya cepat ganti baju dan kemudian saya mengantar mereka ke rumahnya. Sepeda motor itu parkir di paroki. Sebelum “berpisah” saya mengatakan, sampai jumpa besok di Gereja dan bawa kolekte dua kali lipat. Mereka pun tertawa senang dan mengatakan, tentu saja pastor bahkan empat kali lipat karena “taksinya” nyaman dan pake AC lagi.

Saudara-I terkasih, pesan yang mau saya sampaikan bukan berangkat dari judul yang bombastis itu. Saya hanya mau mengatakan, apakah kita mau dengan gembira “keluar” sejenak dari kenyamanan hidup kita, dari kelengkapan materi yang kita miliki, dan berbagi dengan mereka yang tidak punya. Merasakan apa yang mereka alami.

Barangkali kita tidak masalah menutup pintu mobil mewah itu karena barang kali ada AC dan kita nyaman di dalam. Kita juga tidak salah menutup pintu rumah karena kita takut dan cemas akan barang-barang berharga di dalamnya. Namun jangan tutup pintu hatimu, jangan katupkan matamu dan padamkan roh belaskasihan dalam dirimu. Hatilah yang mengajak kita untuk peka dan peduli. Hatilah yang “bersuara” untuk menjawab jeritan mereka yang miskin, hina dan papa. Hati jugalah yang mendorong kita untuk berbuat sesuatu. Karena itu bukalah pintu hatimu, dengarkan jeritan mereka yang pilu…………………. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar